Saturday 4 May 2019

Marhaban yaa Ramadhan

Sumber: Akhmad Zamroni


Selamat datang, Bulan Suci Ramadan,
bulan yang penuh rahmat, barokah, dan ampunan.

Selamat menjalankan ibadah puasa.
Mohon maaf atas segala kekhilafan kami selama ini.

Semoga puasa yang akan kita tunaikan dapat meningkatkan dan memantapkan ketakwaan kita kepada Allah Swt. dalam upaya mendapat rida dari-Nya.

Aamiin yaa robbal alamiin.

Friday 13 April 2018

Ancaman Hukuman Penjara dan Denda untuk Tindak Penjiplakan


Akhmad Zamroni

Sumber: www.spengetahuan.com

Bersamaan dengan mulai maraknya blog (web log) di internet pada awal tahun 2000-an, berbagai jenis tulisan (artikel, esai, cerpen, puisi, dan sebagainya) muncul dan bertebaran seperti jamur pada musim hujan di dunia maya. Sebagai aplikasi web, blog menjadi wadah utuk mengekspresikan gagasan, perasaan, pengalaman, dan sebagainya dengan berbagai macam bentuk (genre) tulisan yang hampir tak terbatas. Hingga saat ini, sudah jutaan tulisan dari seluruh pelosok Indonesia di-upload (diunggah) melalui blog.
Menjamurnya tulisan dalam berbagai bentuk atau genre di blog secara umum dapat dikatakan sebagai gejala yang positif dan menggembirakan. Hal ini mengindikasikan makin terjaminnya kebebasan berekspresi serta kian mekar dan berkembangnya budaya menulis (dan juga membaca) di Indonesia. Kuatnya budaya menulis dan membaca menjadi salah satu indikasi makin canggih dan majunya  peradaban suatu bangsa.
Namun, sayang sekali, bersamaan dengan kian bertebarannya berbagai jenis tulisan di blog, makin marak juga aktivitas pengutipan (pengambilan) tulisan karya orang (bloger/narablog) lain tanpa mengindahkan etika dan aturan pengutipan. Sangat banyak tulisan, terutama jenis artikel, di berbagai blog merupakan hasil copy-paste bulat-bulat atau mentah-mentah dari blog lain tanpa modifikasi dan tanpa disertai pencantuman sumber pengutipan sama sekali.
Akibatnya, dijumpai banyak sekali duplikasi atau tulisan kembar di banyak blog. Duplikasi atau kesamaan terjadi secara penuh dan utuh (seratus persen) dari segi judul, paragraf, kalimat, hingga penggunaan tanda baca. Duplikasi ini umumnya juga tanpa disertai dengan pencantuman sumber tulisan dan permintaan izin kepada penulis aslinya.
Tak pelak lagi, apa yang terjadi itu merupakan penjiplakan (plagiarisme). Dari segi apa pun ­­­--- terutama segi agama, etika, dan hukum --- penjiplakan merupakan perilaku yang tercela dan termasuk katagori pelanggaran yang dapat dikenai sanksi. Penjiplakan merupakan tindak pencurian yang bertentangan dengan norma agama dan norma hukum.
Sebagai penulis dan pemilik beberapa blog, saya (penulis) merupakan salah satu korban dari penjiplakan (plagiarisme) yang dilakukan oleh seorang oknum bloger dari Jawa Timur. Lebih dari 40 artikel saya yang termuat dalam blog ini (Artikulasi; http://caraelegan.blogspot.co.id) dijiplak mentah-mentah oleh sang bloger. Pelaku yang sama sekali tidak mencantumkan jatidirinya di halaman blog miliknya itu sudah saya tegur dan peringatkan melalui e-mail, tetapi hingga artikel ini saya tulis dan unggah, ia sama sekali belum memberikan jawaban dan tetap meng-upload artikel-artikel jiplakan milik saya di blognya.
Penjiplakan merupakan tindak kejahatan yang sudah saatnya dihentikan. Para pelaku penjiplakan harus segera mengakhiri perbuatan tercelanya. Para plagiat harus tahu dan perlu diingatkan bahwa ada instrumen (aturan) hukum sah yang melarang tindak penjipkalan. Penjiplakan yang mereka lakukan, jika terbukti dalam proses pengadilan, dapat dikenai hukuman kurungan (penjara) atau denda.
Undang-undang terbaru tentang hak cipta, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (UU No. 28/2014) menyatakan bahwa karya tulis yang diterbitkan tergolong sebagai Ciptaan yang dilindungi. UU No. 28/2014 Pasal 40 Ayat (1) huruf a lebih terperinci menjelaskan sebagai berikut.
Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya.
Klausul atau pernyataan “semua hasil karya tulis lainnya mengandung pengertian bahwa seluruh bentuk tulisan --- artikel, esai, makalah, cerita pendek, puisi, pantun, dan sebagainya --- yang dimuat di blog termasuk di dalamnya. Sebagaimana tulisan-tulisan lain yang dipublikasikan (disiarkan) melalui berbagai media (buku, surat kabar, majalah, tabloid, jurnal, dan sebagainya), tulisan yang diunggah melalui blog pun termasuk dalam klasifikasi ciptaan (karya tulis) yang dilindungi undang-undang.
Sebagai ciptaan yang dilindungi oleh undang-undang, tulisan di blog tidak boleh dipublikasikan atau disiarkan oleh pihak lain (pihak yang bukan pemilik/pemegang hak cipta) secara sembarangan. Artinya, Tulisan yang terbit melalui blog tidak dapat diambil alih begitu saja oleh pihak lain tanpa melalui izin, kesepakatan, perjanjian, dan sebagainya. Pengambilalihan atau pemublikasian (atas suatu Ciptaan) yang dilakukan tanpa hak akan dikenai pidana tertentu. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 113 UU No. 28/2014.
Selain mengatur ketentuan seputar permasalahan hak cipta berikut sanksi pidananya, UU No. 28/2014 juga memberikan penjelasan mengenai pengertian beberapa hal yang terkait dengan masalah hak cipta. Substansi undang-undang tentang hak cipta ini penting untuk diketahui oleh semua kalangan yang aktif dalam dunia penciptaan karya, termasuk penulis dan bloger yang biasa menghasilkan produk ciptaan dalam bentuk tulisan (artikel, esai, puisi, cerita pendek, dan sebagainya). Sebagai reference sample, berikut ini saya kutipkan beberapa ketentuan penting yang diatur dalam UU No. 28/2014.
Pasal 1
1.    Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.    Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.
3.    Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.
4.    Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
5.    Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, producer fonogram, atau lembaga Penyiaran.
Pasal 8
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.
Pasal 9
(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
a.   penerbitan Ciptaan;
b.   penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c.    penerjemahan Ciptaan;
d.   pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
e.   pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f.     pertunjukan Ciptaan;
g.   Pengumuman Ciptaan;
h.   Komunikasi Ciptaan; dan
i.     penyewaan Ciptaan.
(2) Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
(3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


Sunday 5 November 2017

Ditunggu: Instruksi Jokowi untuk Mengungkap dan Menuntaskan Kasus Novel Baswedan

Sumber: akcdn.detik.net.id & cdn.tmpo.co

Setelah tujuh bulan berlalu (terhitung sejak 11 April 2017), kasus teror penyiraman air keras ke wajah dan mata Novel Baswedan tidak kunjung dapat diungkap oleh Polri. Sejumlah barang bukti (antara lain, rekaman CCTV dan mug yang digunakan untuk melakukan penyiraman) telah ditemukan dan diserahkan pihak keluarga Novel kepada Polri serta beberapa orang juga telah memberikan kesaksian. Namun, dengan alat bukti dan kesaksian yang sebenarnya (menurut Novel dan publik) lebih dari cukup itu, tetap saja Polri mengalami kesulitan untuk mengungkap kasusnya.
Dalam beberapa kesempatan, Novel mengaku, ia mendapat informasi bahwa seorang perwira tinggi (jenderal) Polri yang masih aktif terlibat dalam teror dan penyerangan terhadap dirinya. Informasi tersebut, menurut Novel, diperoleh dari sumber yang sangat terpercaya. Keterlibatan sang jenderal polisi membuat Novel sangat meragukan kasus teror dan penyerangan terhadap dirinya akan ditangani (secara hukum) dengan serius dan benar oleh Polri sehingga ia sangat berharap kepada Presiden Jokowi untuk membentuk tim gabungan pencari fakta yang melibatkan berbagai unsur dan kalangan independen guna mengungkap dan menuntaskan kasus yang menimpa dirinya.
Dengan mengingat integritas dan prestasi tinggi yang dimiliki Novel dalam pemberantasan korupsi selama ini, publik tampaknya sangat mempercayai pernyataan Novel di atas. Novel Baswedan oleh publik Indonesia dikenal sebagai polisi penyidik andal yang memilik komitmen dan keseriusan tinggi dalam melakukan tugas pemberantasan korupsi. Kepercayaan dan respek publik yang tinggi terhadap Novel menyebabkan publik menjadikan pernyataan novel di atas sebagai tolok ukur untuk menilai Polri dalam menangani dan menuntaskan kasus ini.
Tanggung Jawab Presiden
Kasus Novel bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab Polri, melainkan juga tanggung jawab Jokowi selaku presiden yang membawahkan, mengoordinasi, dan mengomandani Polri.  Kita tahu, dalam struktur pemerintahan presidensial, presiden tidak hanya mengepalai para menteri, TNI, dan Kejaksaan Agung, tetapi juga Polri. Oleh sebab itu, setelah penanganan oleh Polri sepertinya jalan di tempat, kini desakan untuk segera mengungkap kasus tersebut mengerucut ke pemimpin pemerintahan tertinggi di negeri ini: Presiden Joko Widodo.
Kritik, dorongan, teriakan, dan bahkan cibiran publik ­­­­­yang diekspresikan melalui berbagai diskusi, talk show, demonstrasi, dan juga ungkapan-ungkapan di berbagai media sosial tak kunjung mampu membuat Polri menghasilkan kemajuan signifikan dalam melakukan pengusutan. Sepertinya ada ganjalan besar dan kuat di dalam tubuh internal Polri sehingga institusi ini mengalami kesulitan atau kendala serius dalam mengungkap kasus Novel. Lama dan berlarut-larutnya penanganan kasus ini oleh Polri di tengah tersedianya barang bukti dan kesaksian yang cukup menunjukkan besarnya kesulitan dan kendala itu sehingga diperlukan kepedulian dan inisiatif Jokowi selaku presiden RI.
Terlepas dari cara atau strategi yang akan diambil, Jokowi wajib memberikan perhatian serius dan mengambil tindakan konkret untuk menuntaskan kasus Novel. Setidaknya terdapat dua cara yang dapat dilakukan mantan gubernur DKI Jakarta itu dalam mengungkap kasus tersebut. Pertama, jika Jokowi memandang Polri masih mampu menyelesaikannya, (untuk kesekian kalinya) ia wajib memberikan instruksi kepada Kapolri (Jenderal Tito Karnavian) untuk segera menuntaskan kasus itu.  Kedua, jika ia menganggap Polri sudah tidak mampu lagi menyelesaikannya dengan profesional dan objektif, di sisi satu ia harus memberikan sanksi kepada jajaran Polri dan di sisi lain ia harus segera membentuk tim gabungan pencari fakta independen.
Instruksi Jokowi kepada Polri melalui Kapolri adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kasus Novel bukanlah kasus kecil dan sepele.  Secara pidana, derajat kriminalitasnya sebenarnya tidaklah terlalu berat, tetapi dari perspektif penegakan hukum bobotnya sangatlah besar dan krusial karena menyangkut masa depan upaya pemberantasan korupsi yang di Indonesia sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Jokowi bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus itu melalui Kapolri dan jajarannya karena sebagai presiden ia bertugas dan berkewajiban menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (terutama kasus-kasus besar).
Secara konstitusional dan moral, Jokowi berkewajiban menyelesaikan kasus hukum Novel, tetapi secara struktural dan operasional ia tidak harus melakukannya langsung dengan tangannya sendiri, melainkan melalui bawahannya yang membidangi masalah keamanan dan hukum, yakni Kapolri beserta jajarannya. Itulah sebabnya, diperlukan instruksi Jokowi kepada Kapolri sebagai implementasi dari pelaksanaan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya dalam mengatasi masalah hukum dan keamanan nasional.
Bentuk instruksi Jokowi kepada Kapolri adalah perintah tegas dan lugas untuk bekerja sebaik-baiknya mengungkap kasus teror dan penyerangan terhadap Novel serta menangkap dalang dan pelaku yang sesungguhnya tanpa rekayasa.  Agar lebih terukur dan jelas targetnya, Jokowi juga harus memberi batas waktu (deadline) kepada Kapolri dalam mengungkap kasus itu ­­­­­– apalagi kasusnya terjadi sejak tujuh bulan silam. Jika sampai batas waktu yang ditentukan, Polri tidak mampu melaksanakan tugas pengusutan dan pengungkapan kasus Novel, maka sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden kepada rakyat (sebagai pemegang kedaulatan negara), Jokowi harus memberikan sanksi yang tegas, jelas, dan konkret kepada Kapolri beserta jajarannya.
Instruksi merupakan perintah kepada bawahan untuk menjalankan tugas, tanggung jawab, dan kewajiban sebagaimana mestinya. Instruksi atasan kepada bawahan merupakan kelaziman dan bahkan menjadi kewajiban seorang pemimpin jika bawahannya tidak mampu menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Instruksi menjadi bagian tak terpisahkan dari mekanisme kepemimpinan dan manajerial organisasi, termasuk organisasi besar yang disebut negara dan pemerintahan. Tanpa instruksi, organisasi mustahil dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan prestasi yang tinggi.
Instruksi Berbeda dengan Intervensi
Instruksi berbeda sekali dengan intervensi, satu hal yang sangat sering disalahartikan publik dalam menilai hubungan pemimpin dan bawahan dalam pemerintahan.  Secara substansial, instruksi adalah perintah untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan semestinya guna mendapatkan hasil yang baik berdasarkan standar organisasi, sedangkan intervensi adalah mencampuri dan mengarahkan atau mengendalikan pelaksanaan tugas dan pekerjaan bawahan agar diperoleh hasil yang sesuai dengan kehendak dan kepentingannya (sang atasan). Terkait dengan penanganan kasus Novel, selama perintah Jokowi kepada Kapolri tidak diarahkan untuk membuahkan hasil penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan selera dan kepentingan sempit diri presiden, maka perintah itu merupakan murni instruksi yang sudah semestinya diberikan oleh Jokowi.

Namun, jika seluruh mekanisme instruksi yang diberikan Jokowi tidak kuasa membuat Polri mampu mengungkap dan menuntaskan kasus Novel, maka tak terhindarkan lagi, Jokowi harus membentuk tim gabungan pencari fakta independen (TGPFI). Sambil tetap memberikan evaluasi yang diikuti sanksi kepada jajaran Polri karena tidak mampu menjalankan tugas penegakan hukum dalam kasus Novel, Presiden Jokowi membetuk TGPFI yang beranggotakan tokoh-tokoh dan ahli-ahli independen yang berintegritas dan berkomitmen tinggi dalam penegakan hukum. Hal ini merupakan bentuk pertanggungjawaban Jokowi selaku presiden kepada rakyat dalam upaya penegakan hukum. Sanksi kepada Polri dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan Polri sebagai institusi penegak hukum, penjaga keamanan dan ketertiban, serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Adapun pembentukan TGPFI itu sendiri merupakan langkah darurat untuk menegakkan hukum setelah Polri tidak mampu melakukannya dengan baik dan semestinya. Allahu a’lam bissawaab.